UMKM dan Kebijakan Strategis

Kedishop Admin
05/12/2022

PEMBALIKAN ekonomi sedang diupayakan melalui Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). RPJMN 2020-2024 telah menekankan pentingnya peningkatan daya saing UMKM sebagai bentuk pengembangan dan pemberdayaan melalui E-Commerce.

Hal ini mengingat signifikannya perkembangan UMKM yang ditandai dengan serapan 97 persen tenaga kerja dan konstribusi PDB sebesar 61,97 persen dari total PDB nasional.

Meski begitu, fakta tersebut belum menjamin daya tahan dalam menghadapi Pandemi Covid-19 dan mendorong pengurangan kesenjangan produktivitas dengan usaha besar (Kementerian Koperasi dan UKM, 2020).

Pandemi Covid-19 seolah menyadarkan kita bahwa sektor UMKM sangatlah rentan. Hanya dalam jangka pendek terjadi perubahan pola konsumsi barang/jasa dari manual ke otomatisasi.

Belum lagi hambatan distribusi produk, hingga kesulitan bahan baku produksi sebagai akibat situasi pasar yang tidak menentu serta terbatasnya bahan baku yang diakibatkan penguasaan oleh usaha besar.

Oleh karena itu perlu adanya peningkatan daya saing UMKM dengan kebijakan strategis yang bersifat foresight. Atau dengan kata lain, strategi yang masing-masing dimensinya saling resultan dan berdampak signifikan terhadap masa depan.

Menurut Butter dalam How Are Foresight Methods Selected (Butter dan Maurits, 2008), foresight dilakukan dalam tiga tahapan. Yaitu horizon scanning (identifikasi fakta lapangan), trend and drivers (kecenderungan suatu isu), dan creating scenarios for the future (pembentukan skenario).

Daya Saing Prinsip-prinsip dasar dari horizon scanning adalah memaparkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dalam tahap ini, dengan memperhatikan konteks ‘peningkatan daya saing UMKM’, perlu mempertimbangkan tiga dimensi daya saing sebagaimana dikonsepkan Buckley (1988) yaitu dimensi input, proses, dan kinerja.

Dimensi input mencakup lingkup daya saing. Sementara itu, dimensi proses mencerminkan kemampuan untuk mengelola pekerjaan. Sedangkan, dimensi kinerja merupakan resultan dari berbagai faktor yang membentuknya seperti Kemitraan, produktivitas, dan kualitas.

Pada dimensi input, proses kemitraan pada UMKM telah diatur secara tegas melalui UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, PP 17/2013 tentang Pelaksanaan UU No. 20/2008, serta Peraturan KPPU No. 1 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan Kemitraan.

Namun implementasi proses kemitraan antara UMKM dengan usaha besar masih menemui banyak persoalan seperti tidak terpenuhinya persyaratan dalam perjanjian kemitraan, adanya kepemilikan, atau penguasaan oleh usaha besar yang berdampak pada penyalahgunaan posisi tawar.

Pada dimensi proses, kompetensi pelaku dan kapasitas produksi pada sektor UMKM masih terbilang rendah, di mana hal tersebut dipengaruhi kurang maksimalnya tata kelola UMKM baik dari peran pemerintah pusat dan daerah, baik dari aspek perizinan, bantuan modal, maupun ekosistem digital.

Pada dimensi kinerja, produktivitas UMKM yang terbilang tinggi apabila diukur dari konstribusi PDB masih belum sejalan dengan peningkatan kualitas produksi.

Pada tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi trends (kecenderungan) berdasarkan hal-hal faktual yang terumuskan dalam tahap sebelumnya.

Setelah itu, dilakukannya identifikasi drivers (penggerak) dari trends tersebut kemudian dianalisis melalui pengelompokkan STEEPV (Social, Technological, Economics, Envionmentm, Politics, and Values).

Oleh karena itu, penulis akan memaparkan hal tersebut berdasarkan hal-hal apa saja yang menjadi kecenderungan serta mempengaruhi/menggerakkan daya saing UMKM sesuai fakta lapangan di tahap sebelumnya dalam lima aspek.

Pertama, keahlian/tingkat pendidikan pelaku UMKM yang rendah memiliki ‘kecenderungan’ dominasi UMKM terhadap perekonomian nasional.

Hal tersebut sesuai dengan data yang dirilis oleh Kementerian Koperasi dan UKM ada 62.922.617 (99,99 persen) UMKM dan hanya ada 5.460 (0,01 persen) usaha besar di Indonesia.

Jumlah UMKM yang besar itu akan ’berpengaruh’ terhadap rusaknya struktur perekonomian di mana hal ini selaras dengan hasil Penelitian RAND yang berjudul Reforming Policies For Small and Medium-Sized Enterprises In Indonesia.

Penelitian tersebut menyebutkan meskipun UMKM di Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian, namun jenis pekerjaan yang dihasilkan biasanya memiliki tingkat upah yang murah dan relatif kurang produktif.

Pekerjaan UMKM juga identik dengan pekerja yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga sulit untuk berkembang (RAND, 2015).

Kedua, modal yang terbatas memiliki ‘kecenderungan’ terhadap terbatasnya biaya operasional. Terbatasnya biaya operasional tentu akan ’berpengaruh’ terhadap pengelolaan dana menjadi cenderung tidak stabil yang akan berdampak pada pengembangan bisnis yang buruk.

Ketiga, tata kelola UMKM yang efektif dengan memperhatikan faktor internal (adanya desain organisasi yang tepat ukur sesuai kebutuhan bisnis).

Juga, faktor eksternal (situasi pasar, perubahan selera pasar, dan perubahan sosial-budaya --yang bisa mempengaruhi permintaan atau persepsi konsumen terhadap produknya, serta kinerja perusahaan secara keseluruhan dalam jangka pendek, menengah dan panjang), memiliki ‘kecenderungan’ terhadap peningkatan kinerja perusahaan, terutama dari aspek aspek volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi/diversifikasi pasar.

Kondisi ini juga akan berpengaruh terhadap perubahan pada aspek-aspek kinerja UMKM di mana kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan dan untuk mengelola sumber daya secara efisien dalam rangka menciptakan produk dan keunggulan-keunggulan baru.

Keempat, berjalannya sinergisitas dan edukasi E-Commerce bagi pelaku UMKM memiliki ’kecenderungan’ sebagai bentuk antisipasi terhadap perdagangan cross-border di mana praktik perdagangan yang tidak sehat tengah menjalar pasca pandemi Covid-19.

Edukasi E-Commerce juga akan ’berpengaruh’ terhadap marketplace yang ada untuk turut serta merangsang pelaku UMKM melalui berbagai program kemitraan.

Kondisi sinergisitas antara UMKM dengan marketplace didorong atas peran pemerintah dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya UMKM, mulai dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 terkait kemudahan perizinan, akses pasar, rantai pasok, hingga akses pembiayaan.

Selain itu, kampanye Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), program UMKM naik kelas dari KemenkopUKM, dan pembatasan 13 kategori produk oleh Shopee sangat mendukung adanya sinergisitas antara pelaku UMKM dengan marketplace.

Kelima, proses kemitraan dan pengawasan kemitraan yang efektif memiliki ’kecenderungan’ terhadap terjaminnya ketersediaan atau penguasaaan/akses kepada input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, tenaga kerja, dan lain-lain.

Hal tersebut juga akan ‘berpengaruh’ terhadap hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha, baik antar UMKM, maupun antara UMKM dan usaha besar; terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat; dan mampu mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan UMKM (KPPU, 2021).

Selanjutnya pada tahap terakhir terdapat aspek utama yang menjadi poros plausible scenarios. Di mana persoalan tingkat pendidikan, modal produksi, tata kelola UMKM, dan E-Commerce, apabila tidak diimbangi dengan peran K/L beserta lembaga non struktural terkait melalui tentu UMKM akan sulit untuk berkembang.

Oleh karena itu perlu serangkaian inovasi kebijakan yang terpadu dengan mendorong transformasi UMKM menuju sektor formal melalui kemitraan/pengawasan kemitraan, reformasi perizinan, hadir dalam rantai pasok sehingga dapat melahirkan wirausaha produktif.

Maka berdasarkan hal tersebut ada empat empat skenario yang perlu diaksentuasi dalam produk kebijakan untuk mengakslerasi UMKM agar naik kelas.

Pertama, dengan memperbaiki masalah struktural perekonomian nasional, diperlukan suatu upaya peningkatan kualitas pelaku UMKM melalui program kemitraan dengan marketplace yang ada. Hal tersebut penting karena UMKM agak sulit untuk naik kelas menjadi usaha besar.

Selain itu upaya ini perlu didukung melalui aksentuasi peningkatan ekosistem digital oleh Kementerian Koperasi dan UKM.

Dengan meningkatkan ekosistem digital melalui platform satu data (satudata.kemenkopukm.go.id) tentu akan memudahkan para pemangku kebijakan UMKM dalam memantau pelaku UMKM sehingga akan berimplikasi terhadap kebijakan yang tepat sasaran.

Kedua, mempermudah pelayanan administratif dari segi perizinan terhadap pelaku UMKM melalui Sistem Izin Terpadu secara nasional dengan dikoordinasi leading sector untuk UMKM di daerah.

Sistem perizinan yang efektif tentu akan memudahkan pendataan, akses modal, serta akses pembinaan dan pelatihan bagi pelaku UMKM dengan berbagai manfaat seperti perizinan keselamatan untuk ditempati atau dikonsumsi; pendataan sebagai dokumentasi; bantuan untuk mencapai standar mutu bagi produk dan jasa UMKM; bantuan peningkatan kompetensi; bantuan permodalan; bantuan teknologi, inovasi, penguasaan teknologi, dan diversifikasi produk; serta bantuan untuk naik kelas.

Selain itu perlu adanya perizinan dengan standardisasi produk dan jasa UMKM; perizinan untuk kepastian hukum sehingga tidak terjadi konflik di masyarakat; sebagai rujukan untuk meningkatan dan mendorong UMKM menjadi lebih baik; izin dan standardisasi harus diarahkan untuk menjadikan UMKM masuk pasar internasional.

Ketiga, kemitraan antara UMKM dengan Usaha Besar perlu diawasi secara maksimal oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan memperhatikan perkembangan pelaku UMKM melalui platform satu data.

Keempat, semua pilihan kebijakan yang diusulkan tersebut perlu dilandasi dengan adanya kelembagaan yang kuat serta efektif; yaitu suatu kelembagaan terkait UMKM baik K/L maupun LNS yang tepat ukur berbasis kinerja.

Tentu, reformasi birokrasi pada Kementerian Koperasi dan UKM serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus terus dimaksimalkan, karena kedua institusi memiliki peran vital dalam mengakslerasi perekonomian nasional.